Saturday, September 21, 2013

FENOMENA JIHAD SEK DI SYRIA

Gambar: seorang penari perut yang direkrut pemberontak Syria menjadi penembak jitu sekaligus pelayan seks para mujahilin Syria.



Para ulama Sunni mungkin perlu mempertimbangkan kembali hukum tentang nikah mut'ah setelah melihat fenomena jihad sek yang terjadi di Syria saat ini. Di sana, para wanita dari berbagai negara Islam seperti Tunisia melakukan "kawin kontrak" dengan para mujahilin yang tengah memerangi pemerintah. Namun "kawin kontrak" itu sedemikian ekstrim sehingga seorang wanita itu, yang dengan bangga menyebut apa yang dilakukannya sebagai "jihad seks", bisa melayani kebutuhan seks puluhan orang mujahilin sekaligus.

“Mereka berhubungan dengan 20, 30, dan 100 pemberontak, dan mereka pulang dengan membawa buah dari hubungan seks (hamil) yang diatasnamakan sebagai jihad seks, dan kita hanya diam tak melakukan apapun," kata Mendagri Tunisia Minister Lotfi Ben Jeddo kepada parlemen Tunisia hari Kamis (19/9) perihal munculnya fenomena jihad seks yang dilakukan para wanita Tunisia di Syria.

"Setelah melakukan kontrak seks di sana (Syria) dengan atas nama "jihad al-nikah", mereka pulang dalam keadaan hamil," tambah ben Jeddo lebih jelas lagi.

Ben Jeddo tidak menyebutkan berapa jumlah wanita Tunisia yang pulang dalam keadaan seperti itu, namun banyak pihak menyebutkan angkanya mencapai ratusan.

Kegelisahan itu sebenarnya telah disuarakan oleh mantan Mufti Tunisia Sheikh Othman Battikh pada bulan April lalu dengan mengabarkan adanya 13 wanita "bodoh" Tunisia yang pergi ke Syria untuk melayani kebutuhan seksual para pemberontak di sana. Sang mufti menyebut praktik itu sebagai "pelacuran". Komentarnya itu menimbulkan ketegangan dengan kalangan Islam lainnya di Tunisia hingga mengakibatkan Sheikh Othman diberhentikan dari jabatannya.

“Untuk berjihad di Syria, mereka telah mendorong wanita-wanita untuk pergi ke sana. 13 wanita muda telah dikirim untuk melakukan jihad seksual. Apaan ini? Ini adalah pelacuran," kata sang mufti sebagaimana dikutip media Arab Al Arabiya.

Namun beberapa ulama Sunni menganggap praktik itu sebagai bentuk syah dari "perang suci" atau "jihad". Namun fatwa-fatwa mendukung praktik seperti itu baru muncul setelah terjadinya konflik Syria. Dalam praktiknya seorang "pejuang" boleh mengadakan perjanjian kawin singkat dengan seorang wanita. Singkat di sini berarti dalam hitungan jam atau bahkan menit, sehingga seorang wanita bisa mengadakan kawin kontrak dengan beberapa pejuang dalam sehari. Tidak disebutkan apakah dalam kawin kontrak itu dipenuhi syarat-syarat perkawinan yang diwajibkan dalam hukum Islam, sebagaimana kawin mut'ah, misalnya.

Dalam perkembangannya fatwa-fatwa ulama Sunni, terutama dari kalangan wahabi, bahkan menjadi sangat "liar", seperti bolehnya para mujahilin memperkosa wanita-wanita Syria yang tertawan.

Pada bulan Agustus lalu seorang pejabat keamanan Tunisia, Mostafa Bin Omar mengungkapkan bahwa sebuah "kelompok jihad seks" telah muncul di wilayah barat Tunisia yang dikenal sebagai basisnya para pejuang Al Qaida. Bin Omar mengatakan kepada "Al Arabiya" bahwa kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaeda, Ansar Shariah, telah menawarkan beberapa gadis bercadar untuk melayani kebutuhan seks para mujahilin.

Bin Jeddo menambahkan bahwa kementrian yang dipimpinnya telah melarang sekitar 6.000 warga Tunisian untuk pergi ke Syria sejak Maret lalu. Di antaranya sebanyak 86 orang ditahan karena dicurigai berusaha membentuk jaringan mujahilin untuk mengirimkan para pemuda Tunisia berperang di Syria. Ia juga mengecam balik para aktifis HAM yang mengkritik kebijakannya tersebut.

“Para pemuda kita ditempatkan di garis depan pertempuran dan diajarkan untuk menyerang dan mencuri desa-desa di Syria," tambah Bin Jeddo.

Para sejarahwan Islam meyakini bahwa praktik kawin mut'ah atau kawin kontrak dibolehkan pada jaman Rosulullah Muhammad S.A.W hingga khalifah Abu Bakar dan baru dilarang pada jaman khalifah Umar bin Khattab. Sejak itu umat Islam terbelah menjadi 2 kelompok dalama menyikapi hal ini. Orang-orang Sunni mengikuti ketetapan Umar dengan mengharamkan praktik itu, namun orang-orang Shiah tetap membolehkannya meski tidak semua orang Shiah adalah pelaku kawin mut'ah, karena sebagaimana poligami yang dibolehkan Islam, praktik kawin mut'ah membutuhkan syarat dan kondisi tertentu yang tidak mudah dipenuhi seseorang. Praktik ini boleh dilakukan misalkan oleh para pejuang yang berperang jauh dari istrinya selama waktu yang lama, atau pelaut yang harus tinggal di lautan selama berbulan-bulan. Adapun dalam penerapannya harus memenuhi syarat-syarat seperti dalam perkawinan biasa seperti ijab kabul, saksi, wali, dan mahar.



REF:
'Sexual jihad': Tunisian women go to Syria to 'relieve' holy warriors, return pregnant"; al Akhbar; 20 September 2013

No comments:

Post a Comment