Saturday, November 24, 2012

JAWABAN "BOHEMIAN RHAPSODY buat CAHYONO"

Mengikuti saran seorang pembaca blog ini saya baru saja melirik ke akun facebook "Save Dahlan Iskan". Benar dugaan awal saya, akun ini didirikan oleh TS-nya Dahlan Iskan untuk pemilu 2014 mendatang, atau oleh orang-orang yang ingin mengundi nasib, dilirik oleh Dahlan Iskan sebagai pendukung setianya sehingga mungkin kucuran dana bakal mengalir ke mereka. Bukankah Dahlan Iskan sudah dikenal tajir, meski tidak begitu dikenal sebagai seorang dermawan?

Inilah salah satu dialog antar pengikut akun ini yang membuka kedok mereka:

Djono W Oesman: "Usul yg bagus dari Kaxian Indonesia. Grup ini dipantau org-nya P DIS. Moga jadi masukan."
   
Daya Setiawan: "orangnya DI = lingkaran dalam ??, pengusul/penentu kebijakan atau sekedar juru bisik?"

Aklis Swastomo: Karena memang tujuan dibuat grup ini adalah itu....:"

Pada "dinding" akun tersebut terdapat artikel berjudul "BOHEMIAN RHAPSODY buat CAHYONO" yang ditulis oleh Djono W Oesman yang mengaku mantan wartawan JP antara tahun 1984 sampai 2008 yang oleh para pengikut lain akun ini disebut dan dipuji-puji sebagai "mbah-nya forum". Mengingat pengalamannya telah menjadi wartawan sejak tahun 1984, ia memang pantas dipanggil "mbah". Namun sayang, tulisan yang dimaksudkan untuk mengkonter tulisan-tulisan saya di blog ini tentang Pak Dahlan, tidak mencerminkan kecerdasan minimal. Isinya penuh dengan "ejekan" terhadap diri saya. (Ejekan lebih pedas tentu saja diberikan oleh pengikut-pengikut lain dalam forum itu), namun tidak memberikan penjelasan memuaskan.

Melihat foto profil "Mbah" Djono dalam Facebook tersebut saya langsung percaya ia adalah wartawan JP, terutama wartawan daerahnya. Dibanding wartawan media nasional lain seperti Kompas, Media Indonesia dan Bisnis Indonesia, penampilan wartawan JP biasanya memang relatif kurang "perlente".

Dalam dunia kewartawanan Indonesia sebenarnya terdapat budaya "feodal" yang sangat kental. Wartawan pusat dianggap hebat oleh wartawan daerah. Wartawan Jakarta dianggap hebat oleh wartawan Surabaya atau wartawan daerah lainnya. Wajar saja karena penentu tulisan naik atau tidak adalah wartawan pusat. Maka biasanya timbul suatu "simbiosa mutualisme", hubungan saling menguntungkan. Wartawan daerah "nyetor" agar tulisannya naik dan honornya keluar. Wartawan pusat pun dapat uang tambahan. Namun bagi para wartawan Batam, wartawan-wartawan pusat ataupun ibukota, tidak begitu "mengesankan", karena para wartawan Batam merasa lebih maju dalam "gaya hidup" selain merasa lebih "tajir".

Ketika mengikuti pelatihan redaktur di kantor pusat JP di Graha Pena tahun 2000 selama seminggu, saya tidak pernah melihat wajah "Mbah" Djono. Perkiraan saya beliau adalah wartawan daerah, mungkin posnya di sekitar Nganjuk-Jombang-Kertosono. Wartawan daerah yang cukup cerdas mungkin akan bernasib baik dengan ditarik ke pusat. Tapi kalau seorang wartawan daerah selama belasan tahun hingga pensiun ngendon di daerah, berarti kualitasnya dianggap di bawah standar.

Oh ya, saya adalah mantan wartawan JP Group di daerah paling urban di Indonesia dengan garis edar sekitar Batam- Singapura-Johor. Media tempat kerja saya adalah koran paling profitabel di JP Group setelah JP sendiri, bahkan sampai saat ini menjadi salah satu koran paling menguntungkan di Indonesia. Dan saya bisa berbangga menjadi salah seorang yang berperan membangunnya karena ketika pertama bergabung, koran saya baru berumur 1 bulan dengan hanya memiliki seorang reporter.

Sebagai lulusan sekolah elit dan pernah menulis opini di Harian "Kompas" yang prestisius (teman saya, pengusaha nasional dan tokoh Gerakan Nasional Beli Indonesia, Happy Trenggono pernah mengatakan kepada saya bahwa salah seorang temannya yang menjadi menteri, pernah 100 x mengirimkan tulisan opini di "Kompas" dan tidak pernah dimuat) mungkin saya dianggap cukup istimewa hingga dalam waktu relatif singkat, hanya 3 tahun, saya bisa menjadi redaktur eksekutif sebelum saya mengundurkan diri karena suatu alasan yg tidak perlu saya sebutkan.

Baik kita kembali ke soal tulisan "Mbah Djono". Ada 2 hal yang coba ia jelaskan untuk menyanggah tulisan saya di blog ini. Pertama tentang "kasus Pak Raden" dan kedua "kepemilikan JP". Menurutnya apa yang dilakukan Pak Dahlan dalam kasus Pak Raden tidaklah salah. Baik, mari kita kaji kembali. Pak Dahlan menjanjikan kepada Pak Raden akan memberikan tunjangan hidup sebesar Rp 10 juta per-bulan dari kantong pribadi. Namun yang terjadi adalah Pak Dahlan meminta (atau memaksa, atau memeras atau terserah istilah lainnya) PPFN, BUMN binaan beliau, untuk membayarkan apa yang dijanjikan Pak Dahlan kepada Pak Raden.

Dalam hal ini jelas bahwa Pak Dahlan berbohong kepada Pak Raden, karena ternyata "uang pribadi" yang dijanjikan Pak Dahlan ternyata uang BUMN yang notabene adalah uang negara dan uang rakyat. Menggunakan uang negara untuk kepentingan pribadi disebut apa namanya? Silakan menilai sendiri.

Pak Raden masih memiliki integritas dengan menolak pemberian PPFN karena tidak sesuai dengan janji yang diberikan kepadanya.

Kemudian "Mbah Djono" menulis tentang kepemilikan JP. Menurutnya JP sudah lama berpisah dari Tempo dan sejak itu Pak Dahlan menjadi pemilik JP. Saya juga menulis bahwa JP dan Tempo adalah menejemen terpisah yang keduanya adalah anak perusahaan GP Group, sebuah penerbitan nasional besar dan Pak Dahlan adalah salah seorang pemilik JP meski tidak mayoritas. Jadi apa yang ditulis "Mbah Djono" tidak menjelaskan apapun dari apa yang saya tulis. Kalau maksudnya adalah Pak Dahlan menjadi pemilik saham mayoritas JP, tentu ia akan menunjukkan adanya akta penjualan saham GP Group kepada Pak Dahlan. Dan kalau hal ini benar-benar terjadi pasti sudah menjadi berita hangat bertahun-tahun lalu. Namun tampaknya juga mustahil, CPT yang konglomerat nasional yang memiliki GP Group menjual sebagian besar sahamnya pada pegawainya yang pernah meminta-minta tolong kepada pemilik koran Surabaya Pos untuk menjadi wartawan lepas (alias wartawan tanpa surat kabar jelas) setelah kehilangan pekerjaan saat majalah Tempo di-breidel Soeharto.

Oh ya, di tulisannya "Mbah Djono" juga mempertanyakan definisi neolib terkait tulisan saya tentang faham yang dianut Pak Dahlan yang terlihat dari dukungan beliau pada Sri Mulyani dalam kasus Bank Century. Ini adalah argumen standar para "liberal idiot" untuk mangaburkan fakta adanya faham yang menjerumuskan bangsa-bangsa di dunia dalam jeratan hutang para kapitalis yahudi. Kalau hanya defisini, sejarah, tokoh-tokohnya, jumlahya melimpah ruah, tinggal cari sendiri di internet. Itu kalau "Mbah Djono" benar-benar ingin mengerti tentang neoliberalisme. Namun definisi sama sekali tidak memiliki arti apa-apa, melainkan realitas keberadaan faham itu di negeri kita yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan rakyat, dengan mengumbar-umbar uang rakyat, termasuk di PLN, dan kemudian menutupinya dengan berhutang ke luar negeri. Saya sendiri lebih suka menjulukinya sebagai, "cecere yahudi".


No comments:

Post a Comment