Tuesday, August 20, 2013

ANTARA SOEKARNO DAN MOERSI

"Tidak ada hal lain yang bisa dikatakan. Dari pandangan Washington, orang-orang Arab boleh saling membunuh, Sunni melawan Shiah, jihadis melawan sekuleris, petani melawan orang kota, dan orang Mesir melawan orang Mesir. Satu-satunya hal yang penting adalah perjanjian Camp David, dan tak seorang pun boleh mengecam Israel."

(Pepe Escobar)



Ketika menjadi korban kudeta militer oleh angkatan darat pada tahun 1966, secara "de facto" maupun "de jure" Presiden Soekarno sebenarnya masih menjabat sebagai presiden Indonesia yang syah.

Soekarno masih mengusai AL dan AU serta kepolisian. Partai-partai terbesar PNI dan PKI juga masih loyal kepadanya. Komandan Marinir meminta ijin Soekarno untuk menangkap pemimpin kudeta Mayjend Soeharto, dan komandan AU telah siap untuk membom mabes TNI AD. Seberapa batalion divisi elit Diponegoro, Brawijaya dan Siliwangi juga adalah loyalis Soekarno. Di sisi lain TNI AD hanya didukung oleh sekelompok "elit" yang disebut Soekarno sebagai antek-antek  "nekolim" (neo kolonialisme barat), yang terdiri dari pengusaha non-pri, budayawan dan seniman, akademisi UI, dan wartawan.

Soekarno tentu bisa berhitung bahwa jika ia mau, ia pasti masih bisa bertahan sebagai presiden dan mengalahkan lawan-lawan politik yang hendak mengkudetanya. Namun hal itu tentu harus ditebus dengan pertumpahan darah yang hebat. Karena selain TNI AD merupakan kekuatan bersenjata terkuat di Indonesia, Soekarno juga telah mendapat laporan bahwa kapal-kapal perang Armada Pasifik Amerika telah mendekati pelabuhan Jakarta untuk membantu Soeharto.

Maka demi menghindari pertumpahan darah, Soekarno pun mengalah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Soeharto melalui "Supersemar". Dengan Soekarno yang "mengalah" saja masih diperlukan pembantaian terhadap ratusan ribu bahkan jutaan orang-orang yang dianggap menghalangi jalan Soeharto, sebagian besar di antaranya adalah anggota PKI, namun sebagian lainnya justru orang-orang yang tidak terlibat pertikaian politik seperti Chairul Saleh.

Lalu kita melihat hal lain yang bertolak belakang yang saat ini tengah berkecamuk di Mesir. Seorang presiden yang telah mendapatkan mosi ketidak percayaan sebagian besar rakyat Mesir (penandatangan petisi anti presiden berjumlah 22 juta lebih, sementara jumlah suara pendukung presiden dalam pemilu hanya berjumlah 13 juta) menolak mundur, bahkan meski telah mendapat ancaman militer sekalipun. Dan setelah dikudeta, pengikut-pengikutnya mengobarkan "perang" melawan regim baru.

Akibatnya kita melihat kini Mesir terpuruk menjadi negara terror. Aparat keamanan bentrok dengan massa Ikhwanul Muslimin, massa anti-Ikhwanul muslimin bentrok dengan massa Ikhwanul Muslimin, salafi melawan Kristen dan Shiah, sementara di semenanjung Sinai para teroris Al Qaida kembali melancarkan aksi-aksinya, yang dibalas dengan operasi militer besar-besaran oleh militer Mesir. Masih di Sinai, militer Mesir pun menutup perbatasan Gaza, dan bekerjasama dengan Israel memerangi Al Qaida yang didukung Israel dan Amerika.

Dalam konteks lebih luas, krisis Mesir telah membuat Arab dan negara-negara Islam Timur Tengah pun terpolarisasi secara "aneh". Turki dan Qatar yang bahu-membahu bersama negara-negara Teluk Saudi Cs menyerang Syria, justru bersebarangan sikap atas krisis Mesir. Sebaliknya Syria dan Iran yang bahu-membahu dalam krisis Syria, berseberangan sikap atas krisis Mesir.


(BERSAMBUNG)

No comments:

Post a Comment