Monday, August 16, 2010

Kita Sudah Terlalu Jauh Menyimpang


Tercatat sudah dalam sejarah
Tujuh pemuda yang beriman
Melarikan diri kedalam gua
Demi menyelamatkan iman

Disangka tidur hanya sehari
Rupanya 309 tahun
Zaman bertukar beberapa kurun
Di bumi bersejarah Urdhu

Begitulah kuasa Ilahi
Kepada ashabul kahfi
Tiada mustahil di dunia ini
Jika kita beriman dan bertakwa

Tercatat sudah dalam sejarah
Tujuh pemuda yang beriman
Tulang belulang berserakan
Tulah dari binatang tunggangan
Juga anjing yang dinjanjikan surga
Qitmir yang mulia


(Lirik lagu Ashabul Kahfi oleh Raihan)


Aku baru saja mendengar sebuah lagu qashidah yang dinyanyikan oleh Wafiq Azizah yang isinya tentang cerita hijrah-nya Rosulullah dari kota Mekkah ke Madinah. Sebenarnya sejak kecil aku sudah sering mendengar lagu itu karena memang lagu itu cukup populer. Apalagi di daerahku yang memang cukup dikenal sebagai "Kota Santri". Namun baru kali terakhir itulah aku menyadari adanya lirik yang sangat janggal dalam lagu itu. Lirik lagu itu menyebutkan: "Abu Bakar berhijrah ditemani Rosulullah".

Aku kaget sekali. "Kurang ajar" sekali penulis dan penyanyi lagu itu menempatkan Rosulullah di "belakang" punggung Abu Bakar. Bukankah yang menjalankan misi suci hijrah, sebuah perintah langsung dari Allah Tuhan semesta alam, adalah Rosulullah dan bukan Abu Bakar? Adapun Abu Bakar hanyalah menemani Rosulullah dan bukan sebaliknya?

Kemudian aku mencoba merenung, mencari tahu apakah ada kejanggalan-kejanggalan lainnya dalam pemahaman umum masyarakat Islam di Indonesia, atau setidaknya di lingkungan sekitarku? Dan ternyata banyak. Misalnya saja aku mendapatkan bahwa umat Islam sering "menyelewengkan" sebuah ibadah sakral yang disebut sholawat nabi. Berdasarkan tuntunan Al Qur'an dan hadits yang shahih, kalimat sholawat nabi adalah: "Allahuma sholi alaa Muhammad, wa alaa aalii Muhammad" yang artinya "Ya Allah sampaikanlah sholawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad." Tapi masyarakat lebih terbiasa dengan sholawat versi mereka sendiri: "Allahuma sholi alaa Muhammad, wa alaa aalii washohbihi ajma'in".

Saya dengan tegas menyatakan sholawat versi masyarakat itu adalah sebuah bid'ah, karena sholawat adalah sebuah ibadah (bukan mu'amalah) yang telah memiliki tuntunan yang jelas dan tegas, tidak boleh dikarang-karang sendiri meski dengan niat baik sekalipun. Lagipula bukankah tidak semua sahabat (shohbihi) dan umat (ajma'in) layak diberi penghormatan dengan sholawat? Apakah kita akan menyelisihi Allah yang telah menyebutkan sebagian dari sahabat Rosul adalah orang-orang munafik? (QS 9:101). Bagaimana dengan Khalid bin Walid yang telah membunuh sahabat Nu'man bin Numair dan memperkosa istrinya sehingga sahabat Umar bin Khattab dihardiknya dengan keras: "Wahai musuh Allah!" dan khalifah Abu Bakar terpaksa membayar tebusan karena tindakan Khalid? Bagaimana dengan Mughiroh, seorang sahabat yang dipecat dari jabatannya sebagai gubernur oleh khalifah Umar karena berzinah, tapi tidak dirajam sebagaimana perintah Allah? Atau Mu'awiyah yang suka mencaci maki keluarga nabi? Atau Jazid bin Muawiyah dan Umar bin Sa'ad yang telah membunuh cucunda Nabi?

Aku juga menemukan hal lainnya di kalangan umat Islam yang menurutku janggal, yaitu anggapan negatif terghadap binatang anjing. Sebagaimana kita perlu ketahui, Al Qur'an tidak pernah menajiskan atau mengharamkan anjing. Sebaliknya Al Qur'an justru memberikan apresiasi terhadap binatang ini dalam surat Al Kahfi. Syariat Islam juga menghalalkan binatang buruan yang didapat dari anjing piaraan. Di sisi lain di antara empat imam mayoritas umat Islam (Syafi'i, Maliki, Hambali dan Hanafi) tidak ada kesepakatan yang bulat tentang keharaman dan kenajisan binatang ini.

Lalu darimana asalnya hukum yang menajiskan binatang ini? Ternyata dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, orang yang dikenal oleh umat Islam awal sebagai seorang penggemar kucing. Dan siapa orang Islam yang tidak mengenal Abu Hurairah? Kalau agama Kristen mengenal Paulus sebagai peletak dasar agamanya di samping Yesus, maka bagi mayoritas umat Islam Abu Hurairah juga bisa dianggap sebagai peletak dasar agama sebagaimana Rosulullah. Karena melalui Abu Hurairah-lah sebagian besar hadits Rosulullah sampai kepada mayoritas umat Islam. Dan karena Abu Hurairan adalah penggemar kucing, maka demikian pula mayoritas umat Islam dibuatnya, lebih menghargai kucing dan menajiskan anjing.

Lalu siapa sebenarnya Abu Hurairah? Orang yang mengerti sejarah tentu akan berhati-hati menempatkan Abu Hurairah sebagai periwayat hadits. Banyak sekali hadits riwayatnya yang tidak rasional. Saya ambil satu contoh hadits tentang riwayat "Nabi Musa berkelahi melawan malaikat pencabut nyawa". Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, akibat perkelahian itu malaikat pencabut nyawa mengalami cedera matanya dan karenanya beliau mengadu kepada Tuhan atas apa yang dialaminya. Oleh Tuhan sang malaikat diminta untuk bersabar. Awalnya saya tidak percaya mendengar kisah itu. Namun setelah saya cek langsung di buku kumpulan hadits "Shahih" Bukhari-Muslim, ternyata benar demikian adanya. Dalam hadits lainnya yang tidak kalah "nyleneh" adalah kisah Abu Hurairah yang mendapatkan "ilmu" dari setan berupa doa ayat kursi.

Abu Hurairah adalah orang yang di masa Rosulullah dan para khalifah pertama umat Islam (khulafaur rasyidin) tidak termasuk golongan orang yang dihormati karena ilmunya atau karena kontribusinya bagi perjuangan Islam. Ia adalah seorang mu'alaf miskin yang tidak pernah berjihad dan menggantungkan hidupnya dari pemberian orang. Ia baru "naik derajat" setelah diangkat menjadi pejabat oleh khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan. Tidak hanya itu, tiba-tiba saja Abu Hurairah diangkat menjadi seorang perawi hadits kepercayaan pemerintahan Muawiyah. Padahal pada waktu itu masih ada banyak sahabat utama Rosul yang masih hidup. Selain itu keluarga dan kerabat Rosul pun masih banyak, termasuk cucu Rosulullah Hasan dan Husein, paman, bibi serta para sepupu Rosul. Mereka adalah orang-orang terdekat Rosul, yang telah berjuang mendukung Rosul dan mendapatkan ilmu langsung dari Rosulullah.

Namun begitulah "de facto"-nya. Abu Hurairah menjadi bagian dari penguasa yang bisa menuliskan sejarah bahkan menetapkan hukum berdasarkan versinya sendiri. Sementara orang-orang di luar mereka, meski secara "de jure" lebih berhak, tersingkir dari sejarah.

Tapi di atas itu semua, Tuhan telah menetapkan kehendak-Nya. Kebenaran-Nya yang tidak mungkin disingkirkan oleh manusia. Sedikit demi sedikit kebenaran sejati mulai terkuak dan saya bangga menjadi bagian yang berhasil menemukan kebenaran itu.

No comments:

Post a Comment